UNPAR.AC.ID, Bandung – Sampai saat ini, masyarakat sering kali menghakimi atau mendiskriminasi suatu golongan tertentu yang masih kental dengan adat serta budaya seperti masyarakat adat, serta mengaitkannya dengan agama.
Namun, Mgr. Geise, seorang misionaris sekaligus antropolog telah mendekati masyarakat asli sunda dengan melepaskan baju keagamaannya dan mendekati masyarakat asli sunda dengan baju keilmuan antropologi secara partisipatif observasi. Hal tersebutlah yang membantu memahami suatu sistem kepercayaan orang atau masyarakat lain yang berbeda.
Sehingga dengan pendalaman kehidupan suatu masyarakat berbeda keyakinan secara partisipatif observasi, maka setidaknya bisa menyelami dan menghayati ruh keimanan dari suatu sistem kepercayaan, keagamaan, atau keyakinan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara peluncuran dan bedah buku “Badujs en Moslims: Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiangan Banten Selatan” yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) pada (15/2/2022) di Fakultas Filsafat (FF UNPAR). Acara peluncuran dan bedah buku karya Mgr. Geise yang merupakan salah satu pendiri UNPAR tersebut, menghadirkan Prof. Drs. Jakob Soemardjo selaku Guru Besar Emiritus Institut Seni dan Budaya Indonesia; Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto selaku Guru Besar Antropologi dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI);, Prof. Dr. Bambang Q. Anees, Dr. Hawe Setiawan sebagai Budayawan, Sundanolog, dan Dosen Universitas Pasundan; Dr. Tristam Pascal Moeljono selaku Dosen Fakultas Hukum UNPAR; Ira Indrawardana, S.Sos., M.Si selaku Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran (UNPAD).
Ira mengatakan, Mgr. Geise melihat relasi keagamaan masyarakat Baduy dengan muslim Banten sudah terbentuk rasa saling pengertian dan bela rasa sejak lama dengan tetap masing-masing mempertahankan perbedaan mendasar.
“Dalam tulisannya pun Geise juga menegaskan bahwa ada perbedaan, tetapi lama-lama perbedaan itu menjadi sumir, lama-kelamaan tertutup. Disini Geise menemukan beberapa perbedaan mendasar yang dalam tulisan itu dikatakan lebih ke artificial (sarung, arsitektur, dan aturan memakai ikat kepala),” kata Ira.
Menurutnya, terdapat perbedaan yang mendasar dalam konteks kewilayahan dan juga hukum-hukum atau norma-norma yang membangun di kawasan Baduy. Dimana dalam buku tersebut, Mgr. Geise mengatakan Baduy sebagai kawasan larangan atau buyut yang disakralkan sehingga berada di kawasan yang dikenal dengan kemandalaan.
“Mereka itu adalah orang-orang yang terbuka, ramah, ceria, tenang, lugas, jujur, tegas dan patuh terhadap larangan adat bagi masyarakat Kanekes atau Baduy,” katanya.
Dia juga mengatakan, kehidupan keislaman warga muslim sekitar Baduy adalah gambaran keislaman kultur sunda yang berakulturasi dengan budaya setempat namun tetap menjaga relasi-relasi harmoni antar sesama.
Sementara itu, Prof. Semiarto mengatakan, tantangan yang paling besar dalam riset mengenai suatu agama atau kepercayaan di suatu masyarakat tradisional khususnya Baduy adalah menggambarkan sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang masih dilindungi oleh tabu-tabu. Namun, Mgr. Geise dapat masuk kedalamnya.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya Mgr. Geise ini bisa masuk ke sana, tapi saya duga, bagaimana beliau menjalin rapport. Nah ini satu konsep yang penting dalam metode grafologi. Rapport, hubungan baik dengan informan adalah salah satu kuncinya,” tuturnya.
Kesungguhan Dalam Keberagaman
Kesaksian Mgr. Geise bahwa masyarakat Baduy dan masyarakat muslim Banten tidak bertengkar dan saling berbagi, menjadi suatu catatan penting bagi masyarakat di tengah situasi umat islam yang sering alergi terhadap masyarakat adat.
“Ini segera menjadi cermin bagi masyarakat islam di Jawa Barat untuk belajar bagaimana berdampingan dengan masyarakat adat,” tutur Prof. Bambang.
Menurut Prof. Bambang, penggunaan kata parahyangan yang merupakan kata suci bagi masyarakat Baduy pada pendirian universitas katolik yang dibuat Mgr. Geise, menunjukkan bahwa adanya rasa cinta terhadap tanah sunda atau Baduy.
Selain itu, melalui buku Badujs en Moslims, menurut Tristam, buku tersebut mencerminkan kesungguhan Mgr. Geise untuk menghargai dan menghidupkan kembali identitas etnik.
“Ini sekarang gejala-gejalanya sudah muncul masyarakat adat itu sangat mudah tersinggung ketika dicolek sedikit identitasnya,” tutur Tristam.
Dia juga mengatakan, pendirian UNPAR sebagai keberagaman oleh Mgr. Geise, menjadi landasan sebagai minoritas yang menghadirkan diri di tatar sunda dan berbaur-toleransi-menghormati-menghargai kelompok dominan. (RAM-Humkoler UNPAR)
Artikel Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.