Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Merabung, Dosen UNPAR Sebut 4 Hal Penting Ciptakan Rasa Aman

UNPAR.AC.ID, Bandung – Pada hakikatnya, dalam hidup dan kehidupannya, manusia memiliki martabat dan hak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Martabat dan hak ini merupakan Hak Asasi Manusia (HAM)  yang harus mendapatkan penghormatan, perlindungan oleh kita semua dan oleh negara dengan berlandaskan kepada nilai-nilai pancasila.

Kedudukan Pancasila didalam perlindungan dan penghormatan terhadap HAM ini merupakan kaidah dasar, kaidah negara yang fundamental dimana implementasinya telah banyak dibuat oleh pemerintah bersama legislatif yang berupaya untuk memberikan suatu perlindungan dan penghormatan terhadap HAM.

Namun kenyataannya menurut data empiris dari Komisi Nasional Perempuan dan Anak (Komnas PA), terdapat 955 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah rumah tangga, personal, maupun ranah publik, termasuk di ranah pendidikan.

Hal tersebut mengemuka pada Seminar Nasional yang diinisasi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) bersama FH Universitas Suryakancana Cianjur, dan FH Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UNTAG 1945) yang bertajuk “Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi” pada Rabu (26/1/2022), secara hybrid. Acara yang berlangsung di Ruang Multifungsi Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) UNPAR tersebut mengundang Dr. Niken Savitri, S.H., MCL. sebagai dosen UNPAR; Dr. dr. Hj. Trini Handayani, S.H., M.H., sebagai dosen UNSUR; dan Dr. Bambang Joyo Supeno, S.H., M. Hum., sebagai dosen UNTAG 1945.

Bambang mengatakan terdapat perkembangan makna kekerasan. Dimana kekerasan pada masa sekarang sudah berkembang, bukan saja fisik, tetapi berupa non-fisik. Hal tersebut sesuai dengan peraturan yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021.

“Oleh karena itu maka perkembangan makna kekerasan seksual itu adalah perbuatan yang merendahkan, menghinakan, merugikan, melecehkan, menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender yang berakibat atau dapat berakibat pada penderitaan fisik maupun penderitaan psikis,” tutur Bambang.

Dia menyebutkan terdapat beberapa bentuk kekerasan seksual yang memiliki perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 5 Permen tersebut. 

“Misalnya adalah menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, memperlihatkan alat kelamin, menatap korban dengan nuansa seksual dan atau tidak nyaman, mengirimkan pesan lelucon (gambar, foto, audio, video) yang bernuansa seksual, dan sebagainya,” kata Bambang.

Peraturan tersebut kata Bambang menjadi suatu perhatian, tidak hanya memberikan rasa perlindungan dan penghormatan kepada para korban, tetapi juga harus diperhatikan bagaimana memberikan perlindungan pula secara adil kepada lembaga perguruan tinggi.

Dia juga mengatakan, penggunaan kekuasaan sebagai penentu atau pemberi nilai dijadikan sebagai kuasa untuk melakukan ancaman dan/atau pemaksaan kekerasan seksual terhadap mahasiswa. Namun kekerasan seksual tidak menutup kemungkinan terjadi kekerasan seksual antar dosen, dosen dengan tenaga kependidikan, dosen dengan warga kampus atau dosen dengan masyarakat umum dimana kegiatan Tridharma perguruan tinggi terselenggara.

Sementara itu, berdasarkan laporan Komnas PA, Niken mengatakan, dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015 sampai 2020 dengan bentuk kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual sebesar 45 kasus. Dalam hal ini, Universitas menempati urutan pertama dengan persentase 27 persen. Dimana umumnya kekerasan seksual di Universitas terjadi melalui relasi kuasa.

“Semua kekerasan seksual pasti menggunakan relasi kuasa,” katanya.

Selain membuat aturan, membentuk lembaga, menangani keluhan dan laporan serta melakukan pemulihan dan rehabilitasi, Niken menyampaikan terdapat hal penting yang dapat dilakukan dalam menciptakan perasaan aman kepada segenap sivitas akademika, yaitu:

Adanya kesadaran bahwa perbuatan kekerasan/pelecehan seksual adalah sesuatu yang salah, maka hindari menyalahkan korban.
Budayakan saling jaga dan membentuk komunitas terkait perlindungan terhadap korban, perkuat solidaritas dan kebersamaan.
Tingkatkan kesadaran menghargai orang lain, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
 Perkuat Lembaga Bantuan Hukum atau pendamping di perguruan tinggi.

Selain itu, Trini menyampaikan bahwa pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan cara pelatihan asertif. Dimana asertif adalah teknik konseling behavioral yang memberikan proses bantuan dalam situasi kelompok belajar untuk menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan mengambil keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.

Terdapat lima tahapan dalam pelatihan asertif tersebut kata Trini, yaitu:

Self awareness-self esteem
Komunikasi
Pengambilan keputusan (nilai, religi, tujuan, rencana)

Life rainbow (masa depan)
Design thinking-yes i can (appreciative inquiry)-dream-design-destiny-discovery

Tujuan dari latihan asertif ini, kata Trini, agar seseorang belajar bagaimana mengganti respon yang tidak sesuai dengan respons baru yang sesuai. (Ira Veratika SN/RAM-Humkoler UNPAR)

Artikel Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Merabung, Dosen UNPAR Sebut 4 Hal Penting Ciptakan Rasa Aman diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.

Berita Terkini

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

UNPAR.AC.ID, Bandung – Sampai saat ini, masyarakat sering kali menghakimi atau mendiskriminasi suatu golongan tertentu yang masih kental dengan adat serta budaya seperti masyarakat adat, serta mengaitkannya dengan agama. Namun, Mgr. Geise, seorang misionaris sekaligus...

Kontak Media

Divisi Publikasi

Kantor Pemasaran dan Admisi, Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung
40141 Jawa Barat

Jan 27, 2022

X