Makroprudensial Jadi Penstabil Moneter dan Keuangan dalam Mencapai Ekonomi Berkelanjutan

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan Bank Indonesia yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.

Selain itu, green economy menjadi isu penting dalam masa kini yang dapat berhubungan dengan makroprudensial. Hal ini menjadi tanggung jawab kita untuk generasi selanjutnya sehingga dapat menjadi sustainable economy dalam isu climate change yang harus mengemuka kedepannya.

Hal tersebut mengemuka dalam acara Kuliah Umum yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bersama Bank Indonesia (BI) melalui Fakultas Ekonomi UNPAR (FE UNPAR) pada Selasa, (23/11/2021). Acara yang bertajuk “Kebijakan Makroprudensial di Indonesia: Dalam Mendukung Akselerasi Pemulihan Ekonomi Indonesia” tersebut mengundang Juda Agung, Ph.D., selaku Asisten Gubernur Bank Indonesia; dan dimoderatori oleh Dr. Miryam B. L. Wijaya selaku Ketua jurusan Ilmu Ekonomi UNPAR.

Juda berkata, krisis keuangan global memberikan pelajaran bahwa kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial tidak cukup dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Maka diperlukan kebijakan makroprudensial yang menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

“Jadi kebijakan makroprudensial itu tujuannya memang lebih kepada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Sementara yang mikro itu per individu,” kata Juda.

Juda menganalogikan konsep makroprudensial sebagai sebuah pohon dan hutan. Dimana mikroprudensial fokus pada kesehatan individu lembaga keuangan, sedangkan makroprudensial lebih berfokus pada upaya menjaga sistem keuangan secara keseluruhan, bukan hanya individu lembaga keuangan.

Dia mengatakan, kebijakan makroprudensial merupakan pilar utama dari kebijakan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah selain kebijakan moneter, dan kebijakan sistem pembayaran.

Ada 3 pilar kebijakan makroprudensial, kata Juda, yaitu; intermediasi yang seimbang; ketahanan sistem keuangan; dan inklusi keuangan. Dimana dalam intermediasi bertujuan menjaga agar pertumbuhan kredit tidak eksesif dan memadai untuk pertumbuhan ekonomi.

“Seimbang itu bukan artinya pertumbuhannya tinggi, tetapi  sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Pada pilar kedua, dia mengatakan, jika kebijakan makroprudensial ini bisa secara struktural menjaga agar sistem keuangan kuat menghadapi shock apabila terjadi goncangan pada bank yang runtuh.

“Atau bagaimana mencegah agar bank sistemik atau besar itu tidak collapse,” katanya.

Sedangkan pada pilar ketiga, kata Juda, dimana inklusi keuangan dapat mendorong sistem keuangan yang inklusif (semua mempunyai akses). Karena kalau tidak, akan mengakibatkan shadow banking.

Dia juga mengatakan, kapan penggunaan kebijakan makroprudensial diperketat dan diperlonggar tergantung dari grafik data kredit.

“Kalau sekarang dia masih dibawah nol, berarti kita longgar kebijakan makroprudensialnya. Artinya masih didorong,” tuturnya.

Kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical untuk mengurangi over-optimisme dan over-pesimisme serta mengurangi materialisasi akibat contagion effect. Pada saat boom, bank diwajibkan memupuk buffer untuk mengerem ekspansi yang berlebihan. Sedangkan pada saat bust, bank dapat menggunakan buffer untuk mengurangi kontraksi kredit.

“Kalau ekonominya lagi bagus, jangan jor joran kasih kredit, direm dulu. Dengan modal dinaikkan, kredit diturunkan. Sebaliknya, pada saat ekonominya lemah, dia dorong jadi yang tadi (kredit,red) diketatkan, modal dilonggarkan,” tutur Juda.

Terdapat instrumen kebijakan makroprudensial bank indonesia kata Juda. yaitu:

Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)
Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM)
Loan to Value (LVT)/Financing to Value (FTV) Ratio
Countercyclical Capital Buffer (CCyB)
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM)

Terdapat keterkaitan antara makroprudensial dengan isu kenaikan suhu bumi yang menyebabkan perubahan iklim, kata Juda. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan.

“Kalau terjadi gangguan fisik, tentunya ada gangguan produksi. (Seperti) banjir, gelombang tinggi, badai, dan kekeringan ini tentu saja akan berdampak pada inflasi,” katanya.

Selain itu, dia juga mengatakan risiko transisi dari perubahan iklim memiliki biaya transisi yang cukup besar dalam bentuk hilangnya kesempatan investasi, hambatan ekspor, keharusan impor produk hijau, dan keterbatasan akses keuangan global, serta sudah mulai terjadi sekarang. Contohnya adalah investasi hijau beralih ke negara lain, akses keuangan global terbatas atau mahal, dan ekspor tidak kompetitif.

“Kalau kita tidak beralih pada green, maka ekspor kita dapat hambatan. Contohnya batu bara, sawit, dan sebagainya,” kata Juda.

Juda mengatakan, terdapat ratifikasi Paris Agreement dimana semua negara berkomitmen untuk menurunkan karbon. National Determined Contribution (NDC) Indonesia berkomitmen menurunkan karbon pada 2030 sebesar 41% dan pada 2060 mencapai carbon neutral.

Ada 3 pilar kerangka kebijakan makroprudensial hijau Bank Indonesia untuk menjadikan ekonomi berkelanjutan dengan sistem keuangan yang stabil, tumbuh, inklusif, dan hijau, yaitu; penguatan kebijakan makroprudensial hijau; pendalaman pasar keuangan hijau, dan pengembangan UMKM hijau.

“Kita harus punya komitmen bersama untuk semakin mendorong Indonesia menjadi lebih hijau,” tuturnya.

Selain itu, pada acara tersebut hadir pula Dr. Budiana Gomulia, Dra., M.Si selaku dekan Fakultas Ekonomi UNPAR, dan Herawanto selaku Kepala Perwakilan BI Jawa Barat. Selanjutnya, acara ditutup dengan pemberian bantuan kepada Yayasan Disabilitas Tanpa Batas. (Ira Veratika SN/RAM-Humkoler UNPAR)

Artikel Makroprudensial Jadi Penstabil Moneter dan Keuangan dalam Mencapai Ekonomi Berkelanjutan diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.

Berita Terkini

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

UNPAR.AC.ID, Bandung – Sampai saat ini, masyarakat sering kali menghakimi atau mendiskriminasi suatu golongan tertentu yang masih kental dengan adat serta budaya seperti masyarakat adat, serta mengaitkannya dengan agama. Namun, Mgr. Geise, seorang misionaris sekaligus...

Kontak Media

Divisi Publikasi

Kantor Pemasaran dan Admisi, Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung
40141 Jawa Barat

Nov 24, 2021

X