Sebuah puisi bagaimanapun masih dianggap memiliki daya untuk menciptakan atau membangun ruang keheningan. Boleh dikatakan, puisi merupakan semacam doa dalam bentuk yang lain. Doa dalam pengertian bahwa manusia itu memiliki keterpukauan perhatian di tengah kekacauan dan kesimpangsiuran hidup, dan kesimpangsiuran sosial.
Puisi bahkan bisa menjadi cara, menjadi salah satu sarana untuk menyelamatkan diri dari kekacauan. Karena hati manusia sudah sumpek, penuh, kehilangan ruang kosong untuk diisi dengan hubungan yang intim dan transendental.
Hal tersebut mengemuka dalam acara yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melalui Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH) dalam rangka perayaan bulan bahasa pada Sabtu (30/10/2021) lalu. Acara yang bertajuk “Bercerita Lewat Ilmu Berpuisi Dengan Hati” tersebut mengundang Joko Pinurbo seorang penyair ternama Indonesia, Prof. Bambang Sugiharto selaku Guru Besar Fakultas Filsafat (FF) UNPAR, dan Sylvia Yazid Ph.D selaku dosen Hubungan Internasional (HI) UNPAR. Juga dimoderatori oleh dosen FF UNPAR Tri Joko Her Riadi.
Jokpin-begitu Joko Pinurbo kerap disapa-mengatakan bahwa puisi adalah seni menghidupkan kembali jati diri manusia sebagai homologues yang suka bermain kata dan imajinasi. Sastra khususnya puisi, adalah cara bagi manusia untuk membebaskan hati dari kesemrawutan tatanan sosial dan kaburnya nilai-nilai kemanusiaan di tengah kehidupan masyarakat.
“Manusia mencari kembali nilai-nilai kemanusiaannya yang hilang melalui sastra, melalui puisi, mencoba meraih kembali keheningan dan ketenangan,” tuturnya.
Dia berkata, puisi atau sastra pada umumnya mempunyai modus yang berbeda dengan agama. Meskipun sama-sama mempunyai peran untuk membersihkan diri dan menyucikan diri manusia dari segala keruwetan jiwa.
Melalui puisi, lanjutnya, dengan kemampuan menggerakkan imajinasi, dan menyentuh empati, puisi menjadi salah satu sarana untuk menghidupkan kembali daya kontemplasi dan melawan berbagai kekerasan durjana atau kejahatan verbal yang ditumbuh-suburkan oleh media sosial atau platform digital.
“Saya bukan penyair yang menolak kemajuan zaman, saya juga sekarang ini praktis berkarya, bermata pencaharian melalui gawai. Tetapi memang seorang penyair harus bisa menyiasati supaya dia bisa mengatur segala peralatannya itu dan tidak kehilangan nilai-nilainya yang substansial,” ujarnya.
Menurut dia, dalam perkembangannya, sering terjadi pertukaran posisi antara manusia dan gawai. Dalam hal ini, bukan manusia yang mengendalikan gawai, melainkan gawai yang mengendalikan manusia.
“Manusia menjadi hamba bagi gawai, dan gawai adalah tuannya. Ponsel adalah tuan kita dan kita adalah hambanya,” katanya.
Maka kata dia, berbahagialah orang yang masih mempercayai bahwa sastra khususnya puisi melalui kelenturan permainan kata-kata masih menyediakan ruang renung yang lapang untuk merefleksikan, mengurai kekacauan tatanan kehidupan, dan menyelami kembali keluasan serta kejernihan nalar serta batin.
Selain itu, menurutnya, sastra khususnya puisi, dapat menjadi sarana edukasi untuk mengembangkan daya imajinasi dan empati.
“Ketajaman rasa, kelenturan berpikir, serta keterbukaan pikiran terhadap berbagai kemungkinan sehingga kita dapat menyikapi berbagai persoalan hidup dengan lebih arif,” ucapnya.
Dia pun menuturkan, terdapat celah yang mungkin tidak dapat ditembus oleh ilmu dan filsafat. Celah tersebut yang dapat diisi oleh puisi. Puisi banyak bermain dengan alegori yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh bidang yang lain.
“Puisi seperti mata yang tugasnya membaca rahasia-rahasia yang tak terjangkau akal dan tak tertembus ilmu,” tutur Jokpin.
Dalam acara tersebut, Jokpin menunjukkan kekuatan puisi yang menunjukkan keunikan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan membacakan sebuah puisi yang bertajuk “M”.
Melalui puisi tersebut, Jokpin memberi penjelasan bahwa sensasi atau nilai rasa yang muncul dari permainan bunyi tersebut hanya bisa dilakukan lewat puisi dan tidak bisa dilakukan oleh sains maupun filsafat.
“Jadi sensasi semacam inilah mungkin yang dimaksudkan mengapa bahasa puisi sering dikatakan sebagai bahasa hati. Karena memang puisi bisa menyajikan berbagai unsur-unsur kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan bahkan tidak bisa dilukiskan oleh bidang yang lain,” tutur Jokpin.
Menutup perbincangan tersebut, Jokpin mengajak untuk berterima kasih bahwa kita telah diberi anugerah bahasa indonesia, yang bukan hanya telah mempersatukan masyarakat yang berbeda latar belakang, dan berbeda tempat, tetapi juga bisa menjadi alat ungkap seni yang penuh daya.
Sementara itu, Prof. Bambang Sugiharto mengatakan, ketangkasan dalam menangkap dan memadu informasi merupakan bagian dari pentingnya pendidikan bahasa yang membantu memupuk kemampuan artikulasi dan kemampuan memberdayakan kata.
“Semakin orang menjelajahi aneka bahasa, sebetulnya sensibilitas mereka terhadap kata akan menjadi lebih tajam,” ucapnya.
Sylvia juga berpendapat bahwa bahasa bukan hanya rangkaian kata-kata, tapi juga melibatkan orang yang membawakannya.
“Ketika yang membawakannya itu teknologi dengan bunyi yang cenderung datar, atau alat yang tidak punya ekspresi, maka (penyampaiannya-red) tidak akan tepat,” tutur Sylvia.
Bukan hanya perbincangan mengenai puisi dan bahasa, acara juga menampilkan pembacaan puisi oleh para narasumber, musikalisasi puisi, dan ditutup dengan pembacaan pemenang lomba menulis dan membaca puisi 2021.
Juara pertama membaca puisi adalah Antonio Lovendio, kedua yaitu Mekisa Stiadi Ganda, dan ketiga Nophie-Anggi-Vrames-Yulia. Sementara juara harapan yaitu Alifya Ainun dan Jeremia Setiadi. Sementara untuk kategori menulis dimenangkan oleh Jeremia Stiadi, posisi kedua FX. Budi Widodo dan ketiga oleh Dharmestha. Sementara juara harapan yaitu Jessica Nadya dan Audrey Eufrasia. (Ira Veratika SN/RAM-Humkoler UNPAR)
Artikel Bulan Bahasa UNPAR, Joko Pinurbo Sebut Puisi Sarana Edukasi Kembangkan Imajinasi dan Empati diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.