Jurnalisme Indonesia masa kini trennya memberitakan isu yang sedang santer di media sosial atau hanya condong membahas masalah yang sedang ramai dan menjadi perhatian publik. Hal tersebut berdampak pada isu besar terkait kepentingan publik yang kerap luput.
Jurnalisme investigasi pun dinilai berperan besar untuk membela kepentingan publik. Lebih dari itu, tantangan jurnalis saat ini bukan hanya memproduksi konten yang berkualitas, tetapi bagaimana memposisikan pengkonsumsi produk jurnalisme investigasi memahami betul konten yang layak konsumsi dan penting.
Hal tersebut mengemuka dalam talkshow yang menjadi puncak acara All Out Journalism (AOJ) 2021. AOJ diinisiasi oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bekerja sama dengan Warta Himahi, organisasi internal Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (HMPSIHI) UNPAR, yang fokus pada tema jurnalisme. AOJ merupakan acara tahunan yang rutin diselenggarakan, kali ini, AOJ 2021 mengangkat tema “Journalism in Challenge: Still Unleashing the Unknown?” yang mengangkat pentingnya investigasi dalam jurnalisme.
“Kalau dulu, media massa itu punya agenda setting jadi dalam sepekan isu apa yang tengah digulirkan dan menjadi perhatian dan kepentingan publik. Namun 5 tahun belakangan ini, itu sudah bergeser. Yang menjadi perhatian media, khususnya media online lebih banyak membahas/mengulas isu-isu yang santer dibicarakan di media sosial. Isu besar terkait kepentingan publik pun akhirnya kerap luput menjadi perhatian di media mainstream saat ini,” ujar Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Erick Tanjung, Sabtu (23/10/2021).
Para mahasiswa, baik dari UNPAR maupun kampus lainnya yang mengikuti talkshow tersebut pun diberikan pemaparan lebih lanjut oleh Erick mengenai perbedaan liputan investigasi dengan liputan biasa. Mulai dari pemilihan isu, metode penelusuran, hingga penyajian.
Dalam hal pemilihan isu, liputan investigasi cenderung pada persoalan atau pelanggaran yang ditutupi dari publik. Metode penelusuran yang dilakukan terencana dan berangkat dari informasi atau bukti awal yang cukup. Selain itu, memiliki hipotesis. Liputan investigasi dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis dan memiliki kekuatan di riset.
Penyajian dalam peliputan investigasi pun dilakukan dengan cara menyampaikan persoalan yang rumit menjadi sederhana. Serta mampu menjabarkan seluruh aktor utama yang terlibat serta perannya.
“Kita juga perlu melihat tiga indikator dalam menentukan topik investigasi. Apakah ada kepentingan publik?, apakah ada pelanggaran yang terjadi, dan apakah ada upaya menutupi pelanggaran atau kejahatan itu dari publik,” ucap Erick.
Dia pun mengungkapkan pentingnya kolaborasi liputan investigasi. Menurutnya, jurnalisme masa kini penting untuk melakukan kolaborasi, baik kolaborasi antar media maupun jaringan Organisasi Masyarakat Sipil.
Salah satu tujuan pentingnya kolaborasi adalah berbagi risiko. Liputan investigasi, lanjut dia, tidak bisa dilakukan sendirian, meskipun media memiliki SDM (sumber daya manusia) untuk melakukan itu, namun hal tersebut sangat tidak efektif dalam liputan investigasi.
“Sebab di liputan investigasi, jurnalis akan mengungkap dan membongkar sebuah kasus atau persoalan yang ditutupi dan hal itu sangat berisiko. Untuk meminimalisir itu, maka perlu berbagi risiko. Salah satunya dengan kolaborasi liputan investigasi. Empat tahun terakhir, kita melakukan ini. Kolaborasi dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil kemudian melakukan liputan investigasi untuk kasus-kasus besar di Indonesia,” tuturnya.
Peliputan investigasi pun memerlukan perlindungan khusus bagi jurnalis. Mulai dari adanya perlindungan atau jaminan keselamatan dari perusahaan media. Serta diperlukan pula peran dari asosiasi jurnalis, dewan pers, dan lembaga terkait seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
“Dalam 4 tahun terakhir, AJI cukup sering bekerja sama dengan LPSK untuk perlindungan jurnalis yang mengalami ancaman dan kekerasan. Terakhir adalah kasus jurnalis Tempo di Surabaya yang mengalami penganiayaan oleh sekitar 15 anggota polisi ketika dia mau mewawancarai Angin Prayitno Adji (eks Pejabat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan),” ujarnya.
Selain Erick Tanjung, pembicara lainnya yang turut hadir dalam diskusi yaitu Head of Signature Content Narasi.tv Amanda Valani dan Executive Producer Kompas TV Aiman Witjaksono.
Amanda dalam diskusi berbagi bagaimana Narasi memposisikan diri sebagai media bagi publik. Narasi muncul karena melihat fenomena cara konsumsi informasi yang berubah, perkembangan teknologi, dan kualitas serta kuantitas konten di media sosial yang tidak berbanding lurus.
“Kuantitas konten yang bisa dibilang ‘sampah’ dengan konten yang berkualitas, itu tidak berbanding lurus. Kita harus memiliki strategi bagaimana caranya konten berkualitas itu dianggap penting dan menarik,” katanya.
Menurut dia, tantangan jurnalis saat ini bukan hanya mampu memproduksi konten yang berkualitas, tapi bagaimana konten tersebut dianggap penting. Maka perlu dilakukan redefinisi bahwa jurnalisme investigasi adalah slow journalism. Suatu produk investigasi yang terutama adalah bagaimana pengonsumsi produk jurnalisme investigasi memahami betul apa yang penting.
“Ketika kita mengonsumsi satu karya, perlu mengkurasi informasi data, fakta, statement atau apapun itu yang paling penting buat audience kita. Makanya redefinisi ini adalah sebuah bentuk karya slow journalism to make audience understand what matters,” tuturnya.
Dia pun menjelaskan secara ringkas perbedaan konten jurnalistik dengan non jurnalistik. Konten jurnalistik faktual dan aktual, dibuat oleh wartawan, tidak memuat pendapat pribadi penulis, mewakili suara dan persoalan publik, serta sumber kebenaran fungsional dan prinsip verifikasi. Sementara produk non jurnalistik sebaliknya. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)
Artikel All Out Journalism UNPAR: Jurnalisme Investigasi Berperan Besar Bela Kepentingan Publik diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.