Kampus Merdeka, Memaknai Kebebasan Intelektual

Oleh: Andreas Doweng Bolo, S.S., M.Hum.-Dosen dan Ketua Pusat Studi Pancasila UNPAR

Transformasi birokrasi dan insan-insan pendidik merupakan upaya pertama dan utama yang juga penting agar cita-cita Kampus Merdeka, sungguh memerdekakan setian insan bangsa Indonesia.

Intelektualitas
menjadi narasi penting dunia pendidikan, namun bagi Ki Hajar Dewantara, Bapak
Pendidikan Nasional memiliki pendapat sendiri untuk hal ini. Dalam pidato
pengukuhan Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada dies
natalis UGM ke-7 tanggal 19 Desember 1956, beliau mengatakan bahwa pendidikan
di zaman Hindia Belanda itu “semata-mata pendidikan intelek” dan mengabaikan
“pendidikan kebudayaan” (perhatian tokoh pendidikan akan dibahas lagi dalam
tulisan kecil ini).

Tampaknya
spirit pendidikan intelektualitas berbasis budaya ini juga yang menjadi
filosofi dalam visi besar Kampus Merdeka. Hal ini tertuang dalam Permendikbud
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, dimana pada Pasal
5 dan 6 berkaitan dengan kompetensi lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan,
dan keterampilan tetap menempatkan aspek kebudayaan itu pada fondasi
pendidikan. Karena dengan fondasi intelektualitas dan budaya itulah tantangan
global dapat dihadapi dengan tepat, benar, dan tangkas  

Melonggarkan Ikatan

Ada gebrakan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) setelah meluncurkan program Merdeka Belajar disusul dengan program Kampus Merdeka. Dalam website kementerian dikatakan bahwa program ini merupakan awalan melepaskan belenggu agar kampus lebih mudah bergerak. Mendikbud Ristek Nadiem Anwar Makarim menegaskan bahwa program ini belum menyentuh aspek kualitas.

Ada
4 poin uraian tentang Kampus Merdeka yaitu perihal: pertama, otonomi bagi
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS); kedua, program re-akreditasi
otomatis; ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja
(Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH); keempat, Hak belajar tiga
semester di luar prodi.

Program
yang tertuang dalam Permendikbud ini sesungguhnya telah menjadikan filosofi
pendidikan bangsa Indonesia sejak Ki Hajar Dewantara. Program ini diharapkan
menyiapkan generasi yang tanggap terhadap perubahan zaman yang begitu cepat.  Pembelajaran tidak lagi terpatok pada ruang
kelas dengan waktu ketat 45 atau 100 menit dan seterusnya tetapi dengan jam
pembelajaran yang lebih fleksibel. Misalnya untuk, hak belajar tiga semester di
luar prodi disiapkan delapan kemungkinan yaitu, pertukaran pelajar, magang/praktik
kerja, asisten mengajar di satuan pendidikan, penelitian/riset, proyek
kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen, membangun desa. (Lihat Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus
Merdeka, Dirjen Dikti Kemdikbud 2020)
.

Tulisan
kecil ini mencoba membuat sebuah refleksi kebangsaan dalam kaitan dengan
memaknai kebebasan intelektual dalam guliran program ini. Karena bagi penulis
pendidikan dan dalam konteks ini pendidikan tinggi sangat terkait erat dengan
dinamika transformasi bangsa Indonesia.

Kampus dan Jejak Kemerdekaan

Dunia
kampus mempunyai jejak kebangsaan yang tak bisa dipisahkan dengan sejarah
negeri ini. Para pemuda pelajar baik yang menempuh pendidikan di Indonesia
maupun di luar negeri terutama Belanda memiliki andil besar dalam memerdekakan
bangsa Indonesia.

Sebutlah
beberapa nama yang menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan seperti
Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, Nazir Datuk Pamuntjak, Djunaedi, Dachlan
Abdullah, Iwa Kusuma Sumantri yang berjuang bersama dalam wadah Perhimpunan
Indonesia. Atau para pemuda pelajar/mahasiswa di tanah air seperti, Sukarno,
Moh. Yamin, termasuk juga yang aktif di organisasi Budi Utomo, Indonesische Studieclub Surabaya dan Algemeene Studieclub Bandung.

Kekuatan
para pemuda pelajar berperan penting bersama rakyat Indonesia memerdekakan diri
dari belenggu kolonialisme. Pertanyaan sederhana yang muncul “Mengapa
para pemuda pelajar yang dididik dalam pola pendidikan Barat memiliki kesadaran
kemerdekaan yang tinggi dan berjuang untuk itu?”
. Pertanyaan ini juga coba
dijawab oleh Ki Hajar Dewantara dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa di
Universitas Gadjah Mada 19 Desember 1956.

Ki
Hajar Dewantara dalam pidato tersebut mengatakan, “Dalam hal ini harus kita insafi bahwa para penguasa bangsa Belanda di
Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan
kebudayaan. Mereka semata-mata mementingkan pengajaran, yang intelektualis
serta materialistis: karena pendidikan di situ hanya semata-mata pendidikan
intelek”
. Jika demikian dimanakah didapat kesadaran kultural dan nasionalis
dalam diri para pemuda pelajar saat itu?

Ki
Hajar Dewantara kemudian memaparkan bahwa kesadaran itu ditanamkan di keluarga
dan tradisi kebudayaan yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun bagi Ki Hajar
Dewantara tidak berarti semua pendidikan Barat itu jelek. Tetapi yang mau
dikatakan bahwa jangan kita hanya meniru pendidikan Barat. “Jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran yang
sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda dengan
pendidikan yang intelektualis, materialis,….dan kolonial itu”
.

Tampaknya
gagasan ini juga yang ingin diterjemahkan dalam Kampus Merdeka, agar dunia
kampus tak terbenam dalam iklim esotoris dunia akademik. Tetapi harus ada
dialog terus menerus antara kampus dengan realitas kehidupan, kerja, dan
pergulatan sosial kemasyarakatan lain.  

 Antara substasi dan birokratisasi

Paul
Freire (1921-1997) pakar pendidikan dari Brasil memberi garis penting memaknai
pendidikan. Sebagaimana Indonesia, Brasil pun memiliki sistem pendidikan yang buruk
akibat kemiskinan struktural mendalam. Dalam nestapa ini Freire mengatakan
bahwa pendidikan “sistem bank” dimana pengajar dipandang sebagai subyek yang
memiliki pengetahuan yang tinggal dituangkan kepada para murid harus diakhiri.

Dalam
konteks ini para murid sekadar menjadi obyek belaka. Tak ada komunikasi antara
guru dan murid. Model ini bagi Freire hanyalah melanggengkan struktur
penindasan yang telah ada dalam masyarakat. Freire mengganti pendidikan sistem
bank ini dengan pendidikan hadap masalah (problem-posing
education
) yang memungkinkan konsientisasi.

Dalam
model konsientisasi ini pengajar dan peserta didik menjadi subyek untuk
menelaah suatu obyek tertentu. Dalam sistem ini terjadi proses pembelajaran dua
arah, murid belajar dari guru dan guru pun belajar dari murid.

Mencermati
program Merdeka Belajar yang ditawarkan terlihat bahwa upaya pendidikan ke arah
kesetaraan ini diupayakan. Pendidikan menjadi upaya subyek-subyek yang terlibat
di dalamnya melakukan pencarian terus-menerus. Sebuah pencarian akan ditemukan
bila segenap insan mempunyai posisi asali yang memadai untuk mengakses
kesempatan itu.

Namun,
di tengah harapan bagus ini juga ada berbagai catatan kritis untuk program ini.
Catatan itu berakar pada mental inlander warisan kolonial yang masih bercokol, sebagaimana
dikatakan Indra Charismiadji pemerhati dan praktisi pendidikan 4.0.

Birokratisasi
yang rumit dan panjang acapkali menjadi momok menakutkan dunia pendidikan
sehingga substansi dikorbankan demi berbagai lembar isian yang rumit dan
pragmatis. Demikian juga catatan kritis Doni Koesoema A, penulis dan praktisi
pendidikan melihat program ini bisa menimbulkan segregasi di antara perguruan
tinggi dengan kualitas bagus akan berkoalisasi yang malah bisa mengancam
eksistensi perguruan tinggi yang sedang tumbuh.

Transformasi
birokrasi dan insan-insan pendidik merupakan upaya pertama dan utama yang juga
penting agar cita-cita Kampus Merdeka, sungguh memerdekakan setian insan bangsa
Indonesia.

Menggali
spirit dalam sejarah bangsa Indonesia, untuk menemukan cita-cita kemerdekaan
memungkinkan bangsa ini terutama dunia pendidikan menatap masa depan yang lebih
baik. Sebagaimana, kata Nelson Mandela “education
is the most powerful weapon which you can use to change the world”
. Semoga
pendidikan sungguh menjadi kekuatan pembebas bangsa ini dari segala belenggu
yang merendahkan martabat kemanusiaan.   

Artikel Kampus Merdeka, Memaknai Kebebasan Intelektual diambil dari situs web Universitas Katolik Parahyangan.

Berita Terkini

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

Menilik Relasi Masyarakat Baduy dan Agama dalam Sudut Pandang Geise

UNPAR.AC.ID, Bandung – Sampai saat ini, masyarakat sering kali menghakimi atau mendiskriminasi suatu golongan tertentu yang masih kental dengan adat serta budaya seperti masyarakat adat, serta mengaitkannya dengan agama. Namun, Mgr. Geise, seorang misionaris sekaligus...

Kontak Media

Divisi Publikasi

Kantor Pemasaran dan Admisi, Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung
40141 Jawa Barat

Aug 23, 2021

X